Tahukah Sobat Marlekum, angka perceraian di Indonesia makin hari makin meningkat. Jumlah perceraian dengan kasus gugatan dari Isteri makin mendominasi. Ibu Markelum yang gabung dalam grup whatsapp teman-teman zaman kuliah dulu sering mendapat sharing dan cerita seputar hal ini karena ada beberapa teman yang memang berprofesi sebagai Hakim di peradilan agama dan sering mendapati kasus sejenis. Selain faktor ekonomi dan pihak ketiga, banyak kasus perceraian yang muncul akibat adanya KDRT di dalam rumah tangga. KDRT apa ya? KDRT merupakan kepanjangan dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga, bukan rumah tetangga ya!
KDRT merupakan salah satu jenis kekerasan terhadap perempuan. Iya salah satu jenis saja, karena banyak jenis kekerasan terhadap perepmuan di luar lingkup KDRT. tentu masih hangat di ingatan kasus Y di Bengkulu atau kasus sekeretaris anggota DPR beberapa waktu lalu? Menurut Data dari Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) hingga tahun 2015 kasus KDRT masih menduduki peringkat tertinggi dibanding kasus kekerasan terhadap perempuan lainnya.
Pola kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh lembaga pengada layanan selama tahun 2014 Komnas Perempuan menyebutkan bahwa kekerasan yang terjadi di ranah rumah tangga dan relasi personal menduduki peringkat tertinggi, yaitu sejumlah 8.626 kasus (68%). Ingat ya sobat Marlekum, ini hanya kasus yang dilaporkan lhoo. Ibarat gunung es, saya yakin kasus KDRT yang terjadi dan tidak dilaporkan, tidak diketahui, dan tidak terdeteksi jauh lebih banyak lagi.
Lalu bagaimana Negara dan Hukum hadir dalam kasus-kasus KDRT di tanah air? Sebetulnya Negara kita sudah termasuk cukup maju dengan memiliki perangkat hukum khusus mengenai perlindungan terhadap korban KDRT. Setelah melalui perdebatan dan kontroversi yang cukup alot di DPR dalam pembahasan bersama dengan Pemerintah akhirnya pada tahun 2004 disahkan Undang-Undag Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Mengapa cukup alot? karena pengaturan dalam UU ini memang cenderung menerobos paradigma masyarakat kita yang tabu dengan menarik kehidupan "pribadi" di ranah private ke ranah publik. Masalah rumah tangga adalah masalah private yang tidak perlu dibawa-bawa ke ranah publik apalagi dimasukin negara di dalamnya. Mungkin kurang lebih demikian paradigma sebagian masyarakat kita. Apalagi kekerasan dalam rumah tangga dianggap sebagai aib yang perlu disembunyikan.
Terlepas dari semua itu, nyatanya sudah lebih dari 10 tahun Indonesia memiliki perangkat hukum untuk melindungi para korban KDRT. Bagaimana impelemtasinya hingga hari ini? Adakah kasus-kasus KDRT bisa diminimalisir? bisa diselesaikan? tentu butuh penelitian yang jauh lebih dalam tentang hal tersebut. Namun ada baiknya sebelum sampai ke sana kita pahami dulu apa yang dimaksud dengan KDRT. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. (selanjutnya Ibu Marlekum singkat saja dengan UU PKDRT) mendefinisikan sebagai berikut:
"Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga."
Jadi jenis KDRT dapat berupa kekerasan fisik (physical violence), kekerasan seksual (sexual violence), kekerasan psikologis atau emosional (emotional violence), dan kekerasan ekonomi (economic violence) yang terjadi pada anggota rumah tangga. Yup dalam hal ini memang mayoritas korbannya adalah perempuan. Namun demikian tidak menutup kemungkinan ada korban selain perempuan. Cakupan "Korban" dalam UU PKDRT (Pasal 1 angka 3) adalah "orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga."
Lingkup rumah tangga dalam UU PKDRT (Pasal 2) meliputi :
- suami, isteri, dan anak;
- orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, isteri, dan anak karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
- orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut yang dipandang sebagai anggota keluarga jika dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
Jadi cakupannya tidak hanya kekerasan terhadap pasangan suami isteri ya, anak, anggota keluarga inti, bahkan mereka yang bekerja dalam rumah juga merupakan obyek dari undang-undang ini.
Well, sobat Marlekum diskusi kita akan kita lanjutkan pada bagian selanjutnya yaa. Pada bagian ini yang penting kita ketahui adalah apa sih maksud dari KDRT, cakupan dan jenisnya. Baca postingan Ibu Marlekum selanjutnya yaa.
Bener nih, harus melek hukum dan mengerti tentang lingkup UUD dalam KDRT seperti apa.
ReplyDeleteiya mbak...spy kita bs tahu apa upaya hukum yg bsia dilakukan
DeleteWah iya nih ini yang ditakutkan seorang istri kdrt karena dengan adanya kasus kdrt diindonesia yang saya takutkan terjadi naujubillah kalau terjadi tapi saya selalu was was saja.
ReplyDeletesemoga tdk terjadi pada kita, tp tetep sebaiknya kita paham..untuk diri sendiri maupun org lain juga sih mba
Deletedan cara terbaik menghindari kdrt itu adalah memilih lelaki poin 3 & 5 ya..! cek artikelnya http://kumpul-bacaan.blogspot.co.id/2016/05/6-hal-yang-bikin-cewek-disamping-kamu.html
ReplyDelete