September 25, 2016

Perlindungan Konsumen dalam Kasus Sediaan Farmasi Palsu Perspektif Undang-Undang



Sebelumnya Ibu Marlekum sudah mengantarkan tulisan tentang Vaksin Palsu ya Sobat Marlekum. Lebih ke siapa sih yang bertanggungjawab dan bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur hal tersebut. jadi jangan lupa untuk membaca juga: Vaksin Palsu Salah Siapa?

Isunya memang sudah mereda ya. Pihak berwenang juga masih terus bekerja tampaknya. Namun ada hal yang tidak bisa dilupakan terkait kasus vaksin tersebut yang juga tak kalah penting. Yes, Ibu Marlekum concern dengan perlindungan masyarakat sebagai konsumen dari vaksin palsu dan sediaan farmasi lainnya. Jadi kita perluas saja fokusnya ke semua sediaan farmasi ya. Karena tidak hanya vaksin palsu, banyak kasus obat palsu dan sejenisnya yang mungkin tidak terpapar media tapi menjadi penting bagi kita untuk lebih "aware" apalagi kita sebagai konsumen. Ibu Markleum akan mencoba membahas agak panjang nih. Semoga gak berat yaa, bacanya sambil ngupi-ngupi deh.


Jadi bagaimana seharusnya pihak yang bertanggungjawab menindaklanjuti adanya kerugian masyarakat sebagai konsumen dari sediaan farmasi palsu tersebut?  Betulkah dari sisi peraturan perundang-undangan terutama di tingkat undang-undang ada kekosongan hukum terkait perlindungan terhadap masyarakat –korban-  sediaan farmasi palsu ini?

Perlindungan konsumen berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen (Pasal 1 angka 1). Adapun pengertian konsumen sendiri adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan (Pasal 1 angka 2). 

“Barang” yang dimaksudkan dalam ketentuan ini adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen (Pasal 1 angka 4). Sedangkan “jasa” adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen (Pasal 1 angka 5).

Pada tataran Undang-Undang telah diatur dengan jelas hak dan kewajiban antara konsumen dan pelaku usaha guna tercapainya  tujuan dari perlindungan konsumen yang hakikatnya adalah:

  • meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
  • mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
  • meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hakhaknya sebagai konsumen;
  • menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
  • menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; dan
  • meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Terkait dengan perlindungan konsumen dari produk palsu, secara tegas Pasal 4 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa selaku konsumen kita berhak untuk :

  • mendapatkan  kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa; 
  • mendapatkan  informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; dan 
  • mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. 

Secara timbal balik dalam Undang-Undang ini juga disebutkan kewajiban pelaku usaha untuk melindungi  konsumen dari produk palsu. Dalam Pasal 7 disebutkan bahwa pelaku usaha wajib:

  • memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaannya;  
  • menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;  
  • memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; dan  
  • memberi  kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Dalam kasus vaksin palsu tentu hubungan timbal balik ini tidak semata-mata terjadi antara konsumen dengan penyedia produk farmasi atau pelaku usaha tetapi juga melibatkan pihak rumah sakit yang menjadi kepanjangan tangan pelaku usaha sediaan farmasi tersebut. Lebih lanjut terkait dengan jasa pengobatan dan vaksinasi juga melibatkan para tenaga kesehatan yakni dokter dan perawat yang memberikan jasa vaksinasi menggunakan produk-produk sediaan farmasi tertentu. Ada profesionalitas dan tanggung jawab pihak rumah sakit dan para tenaga kesehatan yang dipertaruhkan dalam kasus ini.

Para professional tenaga kesehatan tentu juga terikat dengan code of conduct dalam lingkungan profesinya sedangkan pihak rumah sakit tidak kalah besar tanggungjawabnya menyediakan sediaan farmasi yang aman dan sesuai dengan standar.  Secara khusus ada aturan yang mengatur kedua hal tersebut dalam Undang-Undang tentang Tenaga Kesehatan dan Undang-Undang tentang Kedokteran. Kedua profesi ini tentu terikat dengan standar pelayanan profesi dan standar  prosedur operasional dilingkungan profesi masing-masing. Pihak rumah sakit juga terikat aturan dalam Undang-Undang tentang Rumah Sakit.

Bagi para pelaku usaha di bidang sediaan farmasi, ketentuan pasal larangan dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen berlaku secara lebih tegas dan dikenai sanksi apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut. Larangan yang sangat erat kaitannya dengan kasus vaksin palsu adalah larangan dalam Pasal 8 ayat (1) dimana  Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:


  • tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan   perundang-undangan;
  • tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau neto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana   yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
  • tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran       yang sebenarnya;
  • tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan   dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
  • tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
  • tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
  • tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
  • tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
  • tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus  dipasang/dibuat; dan/atau
  • tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pada ayat (2) dan ayat (3) Pasal 8 lebih dipertegas bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud, serta  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.  Selain itu pelaku usaha yang melakukan pelanggaran  terhadap larangan memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran {ayat (4)}.

Adapun ancaman pidana terhadap pelanggaran dimaksud dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) sesuai ketentuan Pasal 62 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu pada ayat (3) Pasal 62 ditegaskan bahwa jika pelanggaran yang dilakukan tersebut  mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku. Jadi Pelaku dapat dikenai juga ketentuan dalam KUHP.

Secara lebih khusus kasus pemalsuan dan pengedaran vaksin ini juga bisa dikenai pasal-pasal pidana dalam Undang-Undang tentang Kesehatan seperti yang sudah pernah Ibu Marlekum bahas dalam tulisan sebelumya. 


Selain dari aspek pidana, masalah ini juga terkait dengan aspek perdata.  Terdapat ketentuan tanggung jawab pelaku usaha terkait ganti rugi yang timbul akibat barang dan/atau jasa dimaksud. Pasal 19 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen mengatur kewajiban  pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. 

Ganti rugi  dimaksud dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Hanya saja  pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal  transaksi. Tentu saja hal ini sulit dilakukan dalam kasus vaksin palsu yang terungkap setelah sekian lama transaksi dilakukan, walapun pemberian ganti rugi sama sekali tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, perlindungan konsumen dari sediaan farmasi palsu sesungguhnya sudah cukup memadai dari sisi kelengkapan penegakan hukum. Aturan yang jelas memagari dan mengarahkan kepada terlindunginya konsumen dari kejahatan para pelaku usaha yang nakal. Ancaman pidana yang dikenakan juga cukup besar dan setimpal. 

Namun demikian dalam kasus vaksin palsu ini tampaknya aspek penegakan hukum bukan satu-satunya persoalan. Masalah yang juga sangat penting adalah peran dan tanggung jawab Pemerintah dalam konteks pengawasan. 

Ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien,dan terjangkau menjadi tanggung jawab Pemerintah termasuk ketersediaan vaksin bagi upaya peningkatan kesehatan anak dan balita Indonesia. Terkait dengan pengawasan obat serta industri farmasi, kewenangan ini telah diserahkan Pemerintah kepada satu badan khusus yakni BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), Tugas utama BPOM berdasarkan Pasal 67 Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001, adalah  melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam melaksanakan tugasnya, BPOM memiliki unit pelaksana teknis/UPT yang berbentuk Balai Besar/Balai POM yang berdasarkan Pasal 2 Peraturan Kepala BPOM Nomor 14 Tahun 2014, Unit Pelaksana Teknis di lingkungan BPOM mempunyai tugas melaksanakan kebijakan dibidang pengawasan obat dan makanan, yang meliputi pengawasan atas produk terapetik, narkotika, psikotropika, zat adiktif, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen serta pengawasan atas keamanan pangan dan bahan berbahaya.

Dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa aspek pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh Pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Bagaimanapun Pemerintah menjadi aktor utama dalam konteks ini.  Pengawasan oleh Pemerintah  dilaksanakan  menteri di bidang perdagangan  dan/atau menteri teknis terkait yakni menteri di bidang kesehatan. 

Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.  Apabila hasil pengawasan masayarakat atau lembaga perlindungan konsumen  ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri di bidang perdagangan  dan/atau  menteri di bidang kesehatan mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 

Dalam hal kasus vaksin palsu, sebagai hasil dari pengawasan dimana terdapat temuan vaksin-vaksin palsu yang beredar dan telah digunakan dalam proses vaksinasi dalam beberapa tahun ke belakang di beberapa daerah maka menteri di bidang perdagangan  dan/atau  menteri di bidang kesehatan, sesuai dengan amanat Undang-Undang  tentang Perlindungan Konsumen wajib melakukan tindakan nyata sebagai bentuk tanggung jawab atas kejadian tersebut.  

Kebijakan yang impelentatif dan responsif perlu segera  disusun dan dilaksanakan mengingat peredaran vaksin palsu ini telah berlangsung cukup lama dan korbannya adalah generasi bangsa di masa depan, anak-anak kita semua. Orang tua dari anak-anak yang menjadi korban dari peredaran vaksin palsu ini tentu memerlukan kepastian terhadap kasus anak-anak mereka. Kebijakan perlu segera dilakukan, secara massif dan menyeluruh, langsung menyentuh dan solutif terhadap para korban. Hak utama para konsumen ayng perlu segera dipulihkan adalah hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas vaksin palsu yang telah digunakan. 

16 comments :

  1. Penting banget niy mam... parah ya kalo bisa sampe dipalsuin gt kan bahaya nya banget banget!
    Nice info..
    mampir jg di post terbaru aku ya mam hehe.. thanks!

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya betul mba...makasih aku dah mampir juga yaa

      Delete
  2. penting nih taunya hukum akan perlindungan konsumen. yang mungkin banyak orang yang belum mengetahui hukum apa saja yang terdapat didalam perlindungan konsumen

    ReplyDelete
  3. Mungkin untuk kasus vaksin harus dibedakan antara vaksin bantuan pemerintah dan vaksin yang dijual oleh pihak swasta. Untuk vaksin pemerintah yang hanya tersedia di puskesmas dengan gratis ataupun harga yang murah sangat kecil kemungkinan produsen nakal memalsukan sangat kecil karena tidak ada keuntungan materi disana. Tapi untuk vaksin impor dan harga mahal, itu yang rentan dipalsukan. Mungkin kita juga harus kembali ke diri sendiri mempercayai produk dalam negeri itu bagus. Kebanyakan korban vaksin palsu itu yang terjadi justru di rumah sakit "elit" dengan vaksin impor yang harganya memang sangat mahal. Keuntungan besar memang kadang jadi menghalalkan segala cara.

    ReplyDelete
    Replies
    1. beda2 tipis mba..dr sisi tanggungjawab pemerintah dan swasta tetap betanggungjawab menjamin keasliannya

      Delete
  4. Kita juga sebagai konsumen harus pinter dan jeli juga aih yaa.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya say...krn klo ada apa2 kita yg rugi sendiri

      Delete
  5. sangat penting, apabila tidak tahu bisa dibodohi orang
    berkahkhair

    ReplyDelete
  6. Bookmark dulu, penting ketika berhadapan dengan instansi pemerintah khususnya penyedia jasa. Mau nyaman dan aman selalu berkelit di balik kata "ada harga ada rupa."

    Harga murah kok mau nyaman dan aman. Hehehe. Polemik di negeri ini

    ReplyDelete
  7. Edukasi untuk konsumen diperlukan, mengingat banyak yang belum paham tentang hak konsumen. Makanya banyak yang memproduksi barang palsu hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mbak klo ada kasus kita bs tahu apa yg harus kita lakukan

      Delete
  8. Sekarang jadi konsumen harus lebih pntar yaaa kak :-)

    ReplyDelete

Terimakasih sudah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar di sini

Back to Top