July 16, 2016

Vaksin Palsu: Salah Siapa?



Waah jangan terpancing dulu dengan judulnya.  Artikel Ibu Marlekum kali ini bukan hendak mencari kambing hitam. yang pasti dan kita semua pasti sepakat yakni bahwa beredarnya vaksin palsu di masyarakat adalah kesalahan dua tersangka (untuk sementara) pelaku pemalsuan vaksin sekaligus pengedarnya. Tentu Sobat Marlekum sudah mengikuti berbagai beritanya yang menghangat belakangan ini di media masa.


Pertama kali mendengar kasus tersebut, Ibu Marlekum langsung geram! Ya ampuun tega banget sih. Itu kan vaksin dipakai untuk anak-anak, generasi bangsa ini di masa depan. Apa yaa yang ada di pikiran para pelakunya? Kok tega sekali?? Lalu berlanjut pada pertanyaan: Kok bisa ya 14 tahun baru terungkap? pihak berwenang kemana saja?

Faktanya ada masalah di sini. Lagi-lagi bukan untuk menyalahkan siapa-siapa, tetapi adalah sesuatu yang harus diakui secara jujur pihak berwenang dalam hal ini Pemerintah yang membidangi tugas di bidang kesehatan, di bidang pengawasan obat dan makanan telah kecolongan. Entah karena kelalaian, kecanggihan pelaku atau memang karena mekanisme pengawasan peredaran obat yang belum baik dan memadai.

Beberapa hari lalu Komisi IX DPR yang membidangi kesehatan dan pengawasan obat dan makanan mengadakan RDP (Rapat Dengan Pendapat) dengan pihak Pemerintah yang terkait terutama Kementerian Kesehatan. Lalu muncullah 14 nama Rumah Sakit dan disinyalir telah menerima vaksin palsu dimaksud, mostly RS tersebut berada di Bekasi dan ada di Jakarta Timur. Perlu Sobat Marlekum ketahui, ini baru data awal hasil investigasi sementara ya. Penyelidikan akan dilanjutkan di beberapa kota lain. Semoga penyelidikan segera tuntas dan masyarakat bisa mendapat informasi yang jelas terkait peredaran vaksin tersebut. 

Ada beberapa hal yang bisa kita lihat dari sisi hukum dan perundang-undangan dalam kasus peredaran vaksin palsu ini.

Tindak Pidana yang (dapat) Dikenakan.

Kejahatan yang dilakukan para tersangka pelaku tidak hanya terkait dengan tindakan penipuan dan pemalsuan terutama pemalsuan merek sebagaimana diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), namun juga melanggar Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terutama Pasal Larangan (pasal 8 sampai dengan pasal 17). Bahkan dalam pandangan pribadi Ibu Marlekum ada pelanggaran juga terhadap Undang-Undang tentang Hak Cipta Merek dan Dagang

Beberapa pasal pidana dalam UU tentang Kesehatan yang dapat dikenakan kepada pelaku antara lain:

Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 198
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Ketentuan pidana yang mungkin dikenakan pada pelaku berdasarkan pelanggaran atas Pasal-pasal larangan (Pasal 8 - 17) UU tentang Perlindungan Konsumen antara lain:

Pasal 62
(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f di pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku


Tanggungjawab Pengawasan

Dalam Bab IV (Pasal 14 sd Pasal 20) UU tentang Kesehatan diatur tentang Tanggung Jawab Pemerintah dalam berbagai aspek kesehatan agar seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pemerintah memiliki tanggung jawab atas:
  • ketersediaan lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial
  • ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi 
  • ketersediaan akses terhadap informasi, edukasi, dan fasilitas pelayanan kesehatan 
  • pemberdayaaan dengan mendorong peran aktif masyarakat dalam segala bentuk upaya kesehatan.
  • ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.
  • pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui sistem jaminan sosial nasional bagi upaya kesehatan perorangan.

Ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien,dan terjangkau menjadi tanggu jawab Pemerintah termasuk ketersediaan vaksin bagi upaya peningkatan kesehatan anak dan balita Indonesia.

Selanjutnya terkait dengan pengawasan obat serta Industri Farmasi, hakikatnta kwenangan ini telah diserahkan Pemerintah kepada satu badan khusus yakni BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), Tugas utama BPOM berdasarkan Pasal 67 Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001, BPOM melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam melaksanakan tugasnya, BPOM memiliki unit pelaksana teknis/UPT yang berbentuk Balai Besar/Balai POM yang berdasarkan Pasal 2 Peraturan Kepala BPOM Nomor 14 Tahun 2014, Unit Pelaksana Teknis di lingkungan BPOM mempunyai tugas melaksanakan kebijakan dibidang pengawasan obat dan makanan, yang meliputi pengawasan atas produk terapetik, narkotika, psikotropika, zat adiktif, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen serta pengawasan atas keamanan pangan dan bahan berbahaya.


Dalam melaksanakan tugas dimaksud berdasarkan Pasal 69 Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001, BPOM memiliki kewenangan :
  • Penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya.
  • Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara makro.
  • Penetapan sistem informasi di bidangnya.
  • Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (zat aditif) tertentu untuk makanan dan penetapan pedoman peredaran Obat dan Makanan.
  • Pemberi izin dan pengawasan peredaran Obat serta pengawasan industri farmasi.
  • Penetapan pedoman penggunaan konservasi, pengembangan dan pengawasan tanaman Obat.


BPOM mendapat pekerjaan rumah dengan terungkapnya kasus vaksin palsu. Tentu ada yang harus diperbaiki ke depan agar kejadia serupa tidak terulang lagi. Penelitian dan pengkajian lebih lanjut baik dari sisi SDM maupun mekansime kerja lembaga ini harus segera dilakukan. Peran dan fungsi BPOm sebagai lembaga yang berwenang dalam pengawasan obat dan makanan sangatlah signifikan. 

Hak masyarakat sebagai konsumen untuk mendapat perlindungan dari bahaya obat dan sediaan farmasi palsu harus menjadi prioritas utama. Tanggung jawab Pemerintah terutama kementerian kesehatan dan BPOM untuk menata diri dan berbenah lebih baik agar kasus semacam ini tidak terulang kembali.

Masyarakat sebagai konsumen yang cerdas juga harus lebih mawas diri dengan mengenali lebih lanjut ciri-ciri produk obat dan sediaan famasi yang asli dan palsu. lagi-lagi tugas Pemerintah dan BPOM untuk melakukan edukasi dan sosialisasi yang lebih gencar agar masyarakat lebih pintar, Kesulitannya, untuk produk sejenis vaksin masyarakat mungkin tidak akan mudah memahami dan mengenalinya sehinga para tenaga kesehatan yang terkait baik dokter, perawat, maupun para pharmacist secara aktif bersiaga terhadap peredaran sediaan farmasi yang palsu. Pihak RS juga tentunya harus bisa mempertanggungjawabkan proses penyediaan sediaan farmasi di lingkungannya.

Fakta ini menjadi pukulan telak bagi dunia kesehatan dan farmasi kita. Mari kita waspada dan tingkatkan kesadaran kita akan pentingnya memiliki pengetahuan yang cukup tentang sediaan farmasi yang bermutu dan terjaga keasliannya.

Ada kabar bahwa tindakan pelanggaran hak cipta di bidang kesehatan terutama obat-oantan dan sediaan farmasi jarang diselesaikan secara hukum. Padahal berawal dari kondisi inilah muncul merk-merk abal-abal di bidang obat-obatan bahkan yang palsu seperti kejadian baru-baru ini. Ada baiknya pengaturan mengenai hal ini lebih diperketat lagi. 

Mari Kita berbenah!

Salam LeKum

Salam Melek Hukum

7 comments :

  1. setuju mba Ophi. BPOM harus berbenah diri, dan POLRI harus menyelesaikan masalah pidana ini, sementara kita sebagai masyarakat, jangan pernah lelah mendukung serta memonitor penanganan kasus ini..

    ReplyDelete
  2. bener mbak, semua jajaran terkait harus berbenah, nggak hanya vaksin saja, obat2an juga, pemda juga selaku pemberi izin untuk usaha jual obat harus lebih selektif lagi, karena seperti hal nya vaksin palsu masa depan anak-anak bangsa dipertaruhkan, menyedihkan.

    ReplyDelete
  3. Setuju Mbak Ophi, bukan hanya vaksin, namun juga obat2an dll. Meresahkan banget kejadian ini :(

    keluargahamsa.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mba... bikin was was yaa
      obat2an kabarnya juga banyak masalah mba..tp blom terungkap aja mungkin.
      gak tahu kenapa, ada kabar dr temen2 yg kerja di lawyer perusahan2 besar di bidang farmasi malas urus adapemalsuan merk mrk...

      Delete
  4. Nah ini yg jd ketakutanku saat ini mba, mau vaksin tp takut palsu... :(

    ReplyDelete

Terimakasih sudah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar di sini

Back to Top