December 20, 2016

Latar Belakang Perubahan Undang-Undang tentang ITE



Pada saat Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau baisa disingkat UU ITE disahkan Dunia Maya dan para netizen agak gaduh. Hmm betul bahwa UU ITE tahun 2008 dilakukan perubahan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun tentu ada latar belakang dan pertimbangan khusus dilakukannya perubahan tersebut. Oh iya Untuk kepentingan penulisan artikel ini akan Ibu Marlekum menyebutkan nama undang-undangnya dengan singkatan UU Perubahan ITE ya.



Agar tidak salah paham dan memang seharusnya kita memahami langsung isi dari UU Perubahan ITE tersebut tentu akan lebih baik jika Sobat Marlekum membaca dan memahami langsung teks undang-undangnya. Jadi tidak terjadi semacam "lost in translation" gitu kan ya?

Untuk memudahkan pemahaman alangkah lebih baik kita mengetahui latar belakang dilakukan perubahan terhadap UU ITE. Secara normatif latar belakangnya bisa kita lihat dalam konsideran menimbang dari UU Perubahan ITE dan Penjelasan Umumnya lhoo.

UU ITE  (tahun 2008) merupakan undang-undang pertama di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai produk legislasi yang sangat dibutuhkan dan telah menjadi pionir yang meletakkan dasar pengaturan di bidang pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. Akan tetapi, dalam kenyataannya, implementasi dari UU ITE mengalami beberapa persoalan.

Pertama, terhadap UU ITE  telah diajukan beberapa kali uji materiil di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008, Nomor 2/PUU-VII/2009, Nomor 5/PUU-VIII/2010, dan Nomor 20/PUU-XIV/2016. Sesuai dengan peraturan maka harus dilakukan penyesuaian terkait dengan Putusan MK terhadap pasal-pasal di dalamnya. 

Berdasarkan Putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Nomor 2/PUU-VII/2009, tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dalam bidang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik bukan semata-mata sebagai tindak pidana umum, melainkan sebagai delik aduan. Penegasan mengenai delik aduan dimaksudkan agar selaras dengan asas kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Berdasarkan Putusan MK Nomor 5/PUU-VIII/2010, MK berpendapat bahwa kegiatan dan kewenangan penyadapan merupakan hal yang sangat sensitif karena di satu sisi merupakan pembatasan hak asasi manusia, tetapi di sisi lain memiliki aspek kepentingan hukum. Oleh karena itu, pengaturan (regulation) mengenai legalitas penyadapan harus dibentuk dan diformulasikan secara tepat sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Di samping itu, Mahkamah berpendapat bahwa karena penyadapan merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sangat wajar dan sudah sepatutnya jika negara ingin menyimpangi hak privasi warga negara tersebut, negara haruslah menyimpanginya dalam bentuk undang-undang dan bukan dalam bentuk peraturan pemerintah.

Selain itu, berdasarkan Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016, MK berpendapat bahwa untuk mencegah terjadinya perbedaan penafsiran terhadap Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, Mahkamah menegaskan bahwa setiap intersepsi harus dilakukan secara sah, terlebih lagi dalam rangka penegakan hukum. Oleh karena itu, Mahkamah dalam amar putusannya menambahkan kata atau frasa “khususnya” terhadap frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”. 

Agar tidak terjadi penafsiran bahwa putusan tersebut akan mempersempit makna atau arti yang terdapat di dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, untuk memberikan kepastian hukum keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti perlu dipertegas kembali dalam Penjelasan Pasal 5 UU ITE.

Kedua, ketentuan mengenai penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan yang diatur dalam UU ITE menimbulkan permasalahan bagi penyidik karena tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik begitu cepat dan pelaku dapat dengan mudah mengaburkan perbuatan atau alat bukti kejahatan.

Ketiga, karakteristik virtualitas ruang siber memungkinkan konten ilegal seperti Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman, penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik, serta perbuatan menyebarkan kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan, dan pengiriman ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi dapat diakses, didistribusikan, ditransmisikan, disalin, disimpan untuk didiseminasi kembali dari mana saja dan kapan saja. 

Dalam rangka melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, diperlukan penegasan peran Pemerintah dalam mencegah penyebarluasan konten ilegal dengan melakukan tindakan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum agar tidak dapat diakses dari yurisdiksi Indonesia serta dibutuhkan kewenangan bagi penyidik untuk meminta informasi yang terdapat dalam Penyelenggara Sistem Elektronik untuk kepentingan penegakan hukum tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.

Keempat, penggunaan setiap informasi melalui media atau Sistem Elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan. Untuk itu, dibutuhkan jaminan pemenuhan perlindungan diri pribadi dengan mewajibkan setiap Penyelenggara Sistem Elektronik untuk menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.

Berdasarkan keempat pertimbangan inilah pembentuk Undang-Undang (Pemerintah dan DPR) melakukan perubahan terhadap UU ITE. Materi muatan perubahan tidak lepas dari latar belakang atau pertimbangan tersebut. Untuk Materi muatan atau poin-poin perubahannya akan Ibu Marlekum bahas dalam postingan berikutnya yaa. jadi jangan lupa, tunggu postingan berikutnya yaa.

Salam Lekum

Salam Melek Hukum


Sumber: Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik



6 comments :

  1. Ditunggu artikel berikutnya. Aku masih belum begitu paham ttg UU ITE ini soalnya

    ReplyDelete
  2. Tag aku ya jika ada artikel baru ttg UU ITE

    ReplyDelete
  3. Masih banyak kata yang gak saya pahami, maklum saya gak makan sekolah hehehe
    Terimakasih sudah nambah wawasan terkait hukum :)

    ReplyDelete
  4. Manggut2 bacanya,kalo soal hukum berat banget euy,
    Tapi cukup tau aja, biar ga gaptek hukum banget.
    Tengkyuu mamake inpoh2nya

    salam lekum

    ReplyDelete
  5. mba opie... blognya banyk..aku kurang paham n berasa berat kalo ngomongin hukum..he2, berasa parnok duluan...

    tapi kalo ada blog ini mungkin bisa pelan2 memahaminya...

    ReplyDelete
  6. makasih sharing ilmu bermanfaatnya mbak,mga makin sukses
    kelapa sawit

    ReplyDelete

Terimakasih sudah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar di sini

Back to Top