August 7, 2017

Pencemaran Nama Baik VS Perlindungan Konsumen

Kasus dipidanakannya Komika Acho terkait dengan curhatnya di blog pribadi mengenai kekecewaannya sebagai salah satu konsumen terhadap salah satu pengembang kembali menyita perhatian netizen dan dunia maya.  Tentu hal ini juga menjadi pembelajaran bagi kita semua, terutama pelaku di dunia maya. 



UU ITE terutama Pasal 27 ayat (3) kembali menjadi perbincangan. Pasal-pasal dalam UU ITE terutama terkait pasal larangan dalam Pasal 27 memang sering dinilai sebagai pasal yang repressive dan sangat potensial mengkriminalisasi pihak lain.



Pasal 27 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
"(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman."

Melalui perubahan UU ITE pada tahun 2016 dengan UU Nomor 19 Tahun 2016, Pasal 27 diubah pada bagian penjelasannya yakni sebagai berikut:

"Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “mendistribusikan” adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada banyak Orang atau berbagai pihak melalui Sistem Elektronik.
Yang dimaksud dengan “mentransmisikan” adalah mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Eletronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui Sistem Elektronik.
Yang dimaksud dengan “membuat dapat diakses” adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebabkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Ayat (4)
Ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pemerasan dan/atau pengancaman yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)."


Pasal 27 ayat 3 UU ITE terkait dengan larangan pencemaran nama baik melalui media elektronik dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik hakikatnya merujuk pada pasal-pasal sejenis dalam KUHP. Pencemaran nama baik diatur dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 s.d 321 KUHP.

R. Soesilo dalam  bukunya yang ditebitkan tahun 1991 berjudul "Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal."  ( Penertbit Politeia: Bogor) menjelaskan Pasal 310 KUHP dengan membagi penghinaan dalam 6 macam bentuk/kategori: 

1.    Penistaan (Pasal 310 ayat (1) KUHP)

Supaya dapat dihukum menurut pasal ini, maka penghinaan harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu” dengan maksud agar tuduhan itu tersiar (diketahui oleh orang banyak). Perbuatan yang dituduhkan itu tidak perlu suatu perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzina dan sebagainya, cukup dengan perbuatan biasa, sudah tentu suatu perbuatan yang memalukan. 

Karakteristik informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tentu sangat mudah tersiar atau mudah diketahui oleh banyak pihak. Unsur ini pulalah yang kemudian harus menjadi perhatian dan concern setiap pengguna media elektronik termasuk blogger dan netizen dalam menuangkan gagasan, pikiran, ide, atau bahkan sekedar curhat. 

2.    Penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2) KUHP)

Jika tuduhan  dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka kejahatan itu dinamakan “menista dengan surat”. Jadi seseorang dapat dituntut menurut pasal ini jika tuduhan atau kata-kata hinaan dilakukan dengan surat atau gambar. 

Tentu belum hilang dari ingatan kita kasus Prita Mulyasari dengan email keluhannya kepada salah satu rumah sakit yang juga berujung pada pemidanaan pencemaran nama baik?

Perbuatan dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP tidak masuk menista atau menista dengan tulisan (tidak dapat dihukum), apabila tuduhan itu dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri. 

3.    Fitnah (Pasal 311 KUHP)

Memfitnah dalam pasal ini adalah kejahatan menista atau menista dengan tulisan yang dalam proses pembuktian tersangka/terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa tuduhannya itu untuk membela kepentingan umum atau membela diri. Tidak terpenuhinya unsur membela kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri membuat terdakwa dapat dikenai pasal memfitnah.

4.    Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP)

Penghinaan seperti ini dilakukan di tempat umum yang berupa kata-kata makian yang sifatnya menghina. Penjelasan Pasal 315 KUHP mengatakan bahwa jika penghinaan itu dilakukan dengan jalan lain selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “asu”, “sundel”, “bajingan” dan sebagainya, masuk Pasal 315 KUHP dan dinamakan “penghinaan ringan”.

Penghinaan ringan ini juga dapat dilakukan dengan perbuatan seperti meludahi di mukanya, memegang kepala orang Indonesia, mendorong melepas peci atau ikat kepala orang Indonesia. Demikian pula suatu sodokan, dorongan, tempelengan, dorongan yang sebenarnya merupakan penganiayaan, tetapi bila dilakukan tidak seberapa keras, dapat menimbulkan pula penghinaan.

5.    Pengaduan palsu atau pengaduan fitnah (Pasal 317 KUHP)

Yang termasuk kategori perbuatan yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja memasukkan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pejabat/pihak berwenang atau menyuruh menuliskan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pejabat/pihak berwenang sehingga kehormatan atau nama baik orang itu terserang.

6.    Perbuatan fitnah (Pasal 318 KUHP)

Pasal 318 KUHP mengatur mengenai orang yang dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan orang lain secara tidak benar terlibat dalam suatu tindak pidana, misalnya: dengan diam-diam menaruhkan sesuatu barang asal dari kejahatan di dalam rumah orang lain, dengan maksud agar orang itu dituduh melakukan kejahatan dan seterusnya.

Sejalan dengan kategori pencemaran dan penghinaan dalam KUHP tersebut pakar hukum pidana Prof Muladi juga memberikan rambu-rambu dalam menyempaikan informasi yakni:
  1. penyampaian informasi itu ditujukan untuk kepentingan umum
  2. penyampaian informasi itu ditujukan untuk membela diri
  3. penyampaian informasi itu ditujukan untuk mengungkap kebenaran

Lalu bagaimana halnya dengan keluhan kita sebagai konsumen yang juga memiliki hak? Bagaimana dengan kewajiban pelaku usaha?

UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak dalam konteks hubungan antara konsumen dan pelaku usaha (produsen/pemilik jasa). Terkait dengan hak untuk menyampaikan keluhan dapat dilihat dalam Pasal 4 UU No.8 Tahun 1999, bahwa salah satu hak konsumen adalah  hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Selengkapnya Pasal 4 berbunyi  sebagai berikut:

"Hak konsumen adalah :
1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan  konsumen;
7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya."

Sebaliknya UU Nomor 8 Tahun 1999 juga mengakui hak-jak pelaku usaha salah satunya hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Selengkapnya  Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:

"Hak pelaku usaha adalah :
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya."

Ada banyak pasal yang merupakan larangan dan tanggungjawab pelaku usaha dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 yang pada intinya memberikan perlindungan yang setara antara konsumen dan pelaku usaha. Latar belakang dibentuknya UU ini adalah kondisi di masyarakat yang secara tidak langsung telah membentuk suatu paradigma dimana kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. (Lihat Penjelasan Umum UU Nomor 8 tahun 1999).

Dalam kasus Acho dengan curhatannya di blog pribadinya, ada beberapa hal yang terkait dengan kewajiban pengembang dan hak para konsumen yang tidak terlaksana dengan baik sehingga menimbulkan kekisruhan. Salah satunya misalnya terkait dengan janji dan iklan dari pengembang yang akan membangun 80% areanya untuk ruang terbuka hijau yang dikeluhkan Acho, kita bisa melihat salah satu Pasal larangan dalam UU 8 Tahun 1999 yakni Pasal 8 ayat (1) huruf 8 yang berbunyi

"(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
....
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;"


Masalah tersebut hanya merupakan salah satu dari sekian masalah yang diceritakan Acho. Ada beberapa masalah lain yang tampaknya bukan hanya dikeluhkan Acho seorang. Ketika konsumen atau sekumpulan konsumen merasa tidak puas atau bahkan merasa dirugikan, mereka dapat mengajukan gugatan melalui lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa baik melalui jalur di luar pengadilan maupun di dalam pengadilan.  Jalur pengadilan dapat dipilih hanya jika jalur di luar pengadilan antara lain melalui musyawarah atau mediasi tidak dapat menghasilkan kesepakatan.

Semoga kasus Acho bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua, sebagai konsumen maupun mereka yang berkedudukan menjadi pelaku usaha. Mempidanakan Acho dapat dilakukan karena memang ada dasar hukumnya, namun secara sosial ekonomi tentu hal ini juga mempengaruhi profil perusahaan/pelaku usaha. (Calon) Konsumen secara lebih luas kemudian dapat melihat dan mempertimbangkan lebih jauh melihat kasus ini.

Salam Lekum
Salam melek hukum.



2 comments :

Terimakasih sudah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar di sini

Back to Top